Berusaha menyelesaikan Tugas Akhir di semester 8 ini, saya mencari beberapa
referensi yang dapat dijadikan inspirasi maupun bahan rujukan, mulai dari artikel di
internet hingga beberapa buku berbentuk fisik. Tidak banyak buku yang
membahas musik Indonesia secara menyeluruh (entah saya belum menemukannya atau memang begitu adanya), beberapa yang sempat saya baca adalah 100Tahun Musik Indonesia karya Denny Sakrie dan Rock N Roll Industri Musik Indonesia tulisan Theodore K.S. Berbeda dengan dua buku tersebut yang ditulis oleh pemerhati musik asal Indonesia, buku yang akan saya coba ulas kali ini disusun oleh seorang antropolog asal Amerika, Jeremy Wallach.
Jeremy melakukan investigasi etnografinya selama beberapa tahun, mulai dari 1997, hingga 1999-2001 ketika isu politik dan perubahan kultur di Indonesia sedang bergejolak. Lewat buku ini Jeremy mencoba menelaah hubungan antara musik populer dengan pembentukan identitas ke-Indonesia-an. Dalam penelitiannya, Jeremy melihat musik Indonesia dan negara Indonesia sebagai dua hal simultan yang saling berkelindan, menciptakan suatu susunan logis.
Tidak tanggung-tanggung, untuk melakukan penelitiannya, penulis tinggal di sebuah indekos di bilangan Jakarta Selatan, mengunjungi 83 konser musik lokal, mengamati proses perekaman lagu, melakukan wawancara dengan beberapa musisi, serta berinteraksi dengan anak-anak muda dari beberapa kelas sosial yang berbeda.
Buku ini dibagi menjadi dua bagian, dengan bagian pertama membahas situs-situs musik, mulai dari aliran musik apa saja yang populer di Indonesia, cara distribusi, proses perekaman hingga pembuatan video klip Iyeth Bustami dan grup band Netral. Sedangkan bagian kedua membahas beberapa gelaran musik yang sempat dihadiri oleh penulis.
Banyak sekali hal menarik yang saya temukan dalam buku ini, meskipun banyak juga istilah dan kata-kata berbau ilmiah yang belum saya pahami (sonic materialist, metacultural constructs, vis-a-vis, posteriori, Bourdieu, dan sederet kata lain yang membutuhkan waktu khusus untuk dicari tahu lebih lanjut), membuat saya membutuhkan waktu agak lama untuk menyelesaikan buku ini.
Membaca buku ini, saya seperti naik mesin waktu kembali ke masa-masa di mana kaset masih menjadi pilihan utama untuk mendengarkan musik. Tidak hanya di dalam mal dan toko-toko besar, kaset juga dijual di warung kaset, distro pakaian, bahkan gerobak dorong. Hal yang tidak saya ingat waktu kecil dulu, karena belum ada yang meracuni saya untuk 'jajan rock' di masa itu.
Selain melalui jalur distribusi formal dengan rekaman dan hal teknis lainnya, musik populer di Indonesia juga beredar lewat kegiatan-kegiatan informal seperti kebiasaan nongkrong di warung, atau lewat nyanyian pengamen di kendaraan umum. Selama bermukim di Jakarta, Jeremy ikut berbaur dengan masyarakat sekitar dan mengamati kebiasaan nongkrong di warung yang didominasi oleh pria. Pada akhir bagian kedua buku ini Jeremy menyimpulkan;
Saya sendiri sangat setuju dengan pernyataan tersebut karena faktanya, setelah selama ini saya sempat mewawancarai beberapa band kampus, sebagian besar berawal dari tongkrongan. The power of anak nongkrong memang benar adanya. Mungkin itulah mengapa MTV memanggil viewers-nya dengan sebutan anak nongkrong MTV? Sebagai negara yang menjunjung tinggi gotong royong dan rasa kebersamaan, kegiatan nongkrong menjadi penting untuk dilakukan karena dapat menciptakan ikatan persaudaraan yang erat. Lewat persaudaraan tersebut nantinya para musisi akan saling mendukung untuk mempromosikan musik yang sudah dibuat oleh masing-masing kelompok.
Aliran musik dangdut juga banyak dibahas dalam buku ini. Bagaimana dangdut masih sering dianggap 'kampungan' jika disejajarkan dengan musik Barat yang memiliki prestise lebih. Di sisi lain, dangdut juga menjadi musik pelepas penat yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, menjadi lapangan pekerjaan untuk para biduanita, bahkan sempat menemukan celahnya di kalangan anak muda lewat program Salam Dangdut yang ditayangkan MTV Indonesia.
Selain genre pop dan dangdut, musik underground juga disorot dengan cukup menyeluruh. Untuk menganalisa komunitas di balik musik underground ini, Jeremy menelaah liner notes dan ucapan terimakasih yang terdapat di dalam bungkusan kaset. Yang menarik adalah ternyata selain ucapan terimakasih, terdapat pula daftar "no-thank-you" seperti tertera dalam album band metal Purgatory, Ambang Kepunahan.
Mantap. Sangat cadas dan berani. Kebanyakan daftar no-thank-you ini memang ditujukan kepada Presiden Soeharto, tentara, poseurs, dan polisi. Saya belum pernah lihat sih kalau di album-album sekarang, masih ada tidak ya ucapan no-thank-you seperti itu?
Bukan hanya musik-musik keras, musik underground di Indonesia juga memiliki keunikan yang tidak akan kita temukan di negara lain yaitu dangdut underground. Sudah dangdut, underground pula, sangat merakyat. Dangdut underground ini merupakan hibrida permainan musik dangdut dengan musik rock dan aliran-aliran musik lain. Kebanyakan anggotanya merupakan mahasiswa dan sering diundang untuk tampil dalam acara-acara kampus. Tidak seperti dangdut kontemporer yang banyak terpengaruh oleh musik house dan disco, dangdut underground lebih berkiblat pada dangdut "asli" seperti yang dibawakan oleh Rhoma Irama, Meggi Z, dan Elvy Sukaesih pada tahun 70-80an.
Penulis menemukan beberapa representasi untuk musik jenis ini, di antaranya Soekarmadjoe dari Jogjakarta dan Pemuda Harapan Bangsa (PHB) dari Bandung. Lirik jenaka dengan alunan lagu yang membuat pendengar tidak bisa tidak joget menjadi daya tarik utama dari dangdut underground. Seperti Benyamin S, Pancaran Sinar Petromaks dan OM PMR (juga The Panas Dalam mungkin, kalau dilihat liriknya).
Pokoknya, banyaaak sekali hal menarik yang dijabarkan di dalam buku ini. Saking banyaknya, saya jadi pusing sendiri. Melihat bagaimana masyarakat Indonesia saling berinteraksi untuk membentuk ekosistem musiknya lewat sudut pandang ilmiah, menyadari bahwa musik-musik yang ada di Indonesia (atau di negara manapun?) semakin hybrid dan beragam, menyadari bahwa dominasi budaya Barat masih terjadi bahkan hingga hari ini, mempelajari bagaimana musik dan penampilannya memiliki makna yang lebih dalam dari sekedar 'produk' hasil ciptaan manusia, melihat bagaimana kelas dapat mempengaruhi preferensi musik, semakin menyadari bahwa sedikiit sekali pengetahuan saya tentang musik (tapi nggak mungkin saya cari tahu semuanya juga) daaan berpikir bahwa jalan kita menuju pengarsipan musik Indonesia yang baik masih akan sangat panjaaang.
Sepertinya tidak akan selesai Tugas Akhir saya kalau saya mencoba untuk mengumpulkan semua data tentang musik populer yang ada di Indonesia. Lebih baik saya mencoba membuat perancangannya saja dulu, biar pengumpulan datanya nanti dilakukan oleh orang-orang yang lebih mumpuni. Huehe jadi curhat tentang TA, deh.
Akhir kata, saya sangat merekomendasikan buku yang ditulis oleh Jeremy Wallach ini untuk kalian yang ingin mengenal lebih jauh identitas bangsa kita melalui musik. Karena se-ngaret-ngaretnya, seaneh-anehnya, semenyebalkan apa pun orang Indonesia yang kalian temui atau lihat beritanya di internet, tetap saja, sebagai orang yang lahir dan besar di negara kepulauan ini, ada baiknya kita menghargai sejarah, memperhatikan lingkungan sekitar, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata.
Keterangan: Buku yang saya baca dan bahas di sini sebenarnya versi bahasa Inggris, namun karena sampul buku versi bahasa Indonesia terlihat lebih menarik, sampul versi kedua lah yang saya gunakan untuk melengkapi postingan kali ini. Hehe.
Saya baru tahu kalau buku ini ada versi bahasa Indonesia-nya setelah saya selesai membaca yang bahasa Inggris, jadi belumpunya uang untuk sempat beli yang bahasa Indonesia.. Buku versi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Komunitas Bambu dan bisa dibeli di sini.
Jeremy melakukan investigasi etnografinya selama beberapa tahun, mulai dari 1997, hingga 1999-2001 ketika isu politik dan perubahan kultur di Indonesia sedang bergejolak. Lewat buku ini Jeremy mencoba menelaah hubungan antara musik populer dengan pembentukan identitas ke-Indonesia-an. Dalam penelitiannya, Jeremy melihat musik Indonesia dan negara Indonesia sebagai dua hal simultan yang saling berkelindan, menciptakan suatu susunan logis.
Tidak tanggung-tanggung, untuk melakukan penelitiannya, penulis tinggal di sebuah indekos di bilangan Jakarta Selatan, mengunjungi 83 konser musik lokal, mengamati proses perekaman lagu, melakukan wawancara dengan beberapa musisi, serta berinteraksi dengan anak-anak muda dari beberapa kelas sosial yang berbeda.
Buku ini dibagi menjadi dua bagian, dengan bagian pertama membahas situs-situs musik, mulai dari aliran musik apa saja yang populer di Indonesia, cara distribusi, proses perekaman hingga pembuatan video klip Iyeth Bustami dan grup band Netral. Sedangkan bagian kedua membahas beberapa gelaran musik yang sempat dihadiri oleh penulis.
Banyak sekali hal menarik yang saya temukan dalam buku ini, meskipun banyak juga istilah dan kata-kata berbau ilmiah yang belum saya pahami (sonic materialist, metacultural constructs, vis-a-vis, posteriori, Bourdieu, dan sederet kata lain yang membutuhkan waktu khusus untuk dicari tahu lebih lanjut), membuat saya membutuhkan waktu agak lama untuk menyelesaikan buku ini.
Membaca buku ini, saya seperti naik mesin waktu kembali ke masa-masa di mana kaset masih menjadi pilihan utama untuk mendengarkan musik. Tidak hanya di dalam mal dan toko-toko besar, kaset juga dijual di warung kaset, distro pakaian, bahkan gerobak dorong. Hal yang tidak saya ingat waktu kecil dulu, karena belum ada yang meracuni saya untuk 'jajan rock' di masa itu.
Selain melalui jalur distribusi formal dengan rekaman dan hal teknis lainnya, musik populer di Indonesia juga beredar lewat kegiatan-kegiatan informal seperti kebiasaan nongkrong di warung, atau lewat nyanyian pengamen di kendaraan umum. Selama bermukim di Jakarta, Jeremy ikut berbaur dengan masyarakat sekitar dan mengamati kebiasaan nongkrong di warung yang didominasi oleh pria. Pada akhir bagian kedua buku ini Jeremy menyimpulkan;
"Finally, nongkrong sociality illustrates one of the central points of this ethnography: that in Indonesia music making is irreducibly social."
Aliran musik dangdut juga banyak dibahas dalam buku ini. Bagaimana dangdut masih sering dianggap 'kampungan' jika disejajarkan dengan musik Barat yang memiliki prestise lebih. Di sisi lain, dangdut juga menjadi musik pelepas penat yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, menjadi lapangan pekerjaan untuk para biduanita, bahkan sempat menemukan celahnya di kalangan anak muda lewat program Salam Dangdut yang ditayangkan MTV Indonesia.
Selain genre pop dan dangdut, musik underground juga disorot dengan cukup menyeluruh. Untuk menganalisa komunitas di balik musik underground ini, Jeremy menelaah liner notes dan ucapan terimakasih yang terdapat di dalam bungkusan kaset. Yang menarik adalah ternyata selain ucapan terimakasih, terdapat pula daftar "no-thank-you" seperti tertera dalam album band metal Purgatory, Ambang Kepunahan.
No Thank To: Political Clowns Who Gots The Double Face and also To Indonesian Army Who Repressing The Students and Indonesian People since 30 years ago until NOW!!!
Mantap. Sangat cadas dan berani. Kebanyakan daftar no-thank-you ini memang ditujukan kepada Presiden Soeharto, tentara, poseurs, dan polisi. Saya belum pernah lihat sih kalau di album-album sekarang, masih ada tidak ya ucapan no-thank-you seperti itu?
Bukan hanya musik-musik keras, musik underground di Indonesia juga memiliki keunikan yang tidak akan kita temukan di negara lain yaitu dangdut underground. Sudah dangdut, underground pula, sangat merakyat. Dangdut underground ini merupakan hibrida permainan musik dangdut dengan musik rock dan aliran-aliran musik lain. Kebanyakan anggotanya merupakan mahasiswa dan sering diundang untuk tampil dalam acara-acara kampus. Tidak seperti dangdut kontemporer yang banyak terpengaruh oleh musik house dan disco, dangdut underground lebih berkiblat pada dangdut "asli" seperti yang dibawakan oleh Rhoma Irama, Meggi Z, dan Elvy Sukaesih pada tahun 70-80an.
Penulis menemukan beberapa representasi untuk musik jenis ini, di antaranya Soekarmadjoe dari Jogjakarta dan Pemuda Harapan Bangsa (PHB) dari Bandung. Lirik jenaka dengan alunan lagu yang membuat pendengar tidak bisa tidak joget menjadi daya tarik utama dari dangdut underground. Seperti Benyamin S, Pancaran Sinar Petromaks dan OM PMR (juga The Panas Dalam mungkin, kalau dilihat liriknya).
Pokoknya, banyaaak sekali hal menarik yang dijabarkan di dalam buku ini. Saking banyaknya, saya jadi pusing sendiri. Melihat bagaimana masyarakat Indonesia saling berinteraksi untuk membentuk ekosistem musiknya lewat sudut pandang ilmiah, menyadari bahwa musik-musik yang ada di Indonesia (atau di negara manapun?) semakin hybrid dan beragam, menyadari bahwa dominasi budaya Barat masih terjadi bahkan hingga hari ini, mempelajari bagaimana musik dan penampilannya memiliki makna yang lebih dalam dari sekedar 'produk' hasil ciptaan manusia, melihat bagaimana kelas dapat mempengaruhi preferensi musik, semakin menyadari bahwa sedikiit sekali pengetahuan saya tentang musik (tapi nggak mungkin saya cari tahu semuanya juga) daaan berpikir bahwa jalan kita menuju pengarsipan musik Indonesia yang baik masih akan sangat panjaaang.
Sepertinya tidak akan selesai Tugas Akhir saya kalau saya mencoba untuk mengumpulkan semua data tentang musik populer yang ada di Indonesia. Lebih baik saya mencoba membuat perancangannya saja dulu, biar pengumpulan datanya nanti dilakukan oleh orang-orang yang lebih mumpuni. Huehe jadi curhat tentang TA, deh.
Akhir kata, saya sangat merekomendasikan buku yang ditulis oleh Jeremy Wallach ini untuk kalian yang ingin mengenal lebih jauh identitas bangsa kita melalui musik. Karena se-ngaret-ngaretnya, seaneh-anehnya, semenyebalkan apa pun orang Indonesia yang kalian temui atau lihat beritanya di internet, tetap saja, sebagai orang yang lahir dan besar di negara kepulauan ini, ada baiknya kita menghargai sejarah, memperhatikan lingkungan sekitar, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata.
Keterangan: Buku yang saya baca dan bahas di sini sebenarnya versi bahasa Inggris, namun karena sampul buku versi bahasa Indonesia terlihat lebih menarik, sampul versi kedua lah yang saya gunakan untuk melengkapi postingan kali ini. Hehe.
Saya baru tahu kalau buku ini ada versi bahasa Indonesia-nya setelah saya selesai membaca yang bahasa Inggris, jadi belum
https://peramalsakti.com/
ReplyDeletehttps://peramalsakti.com/2017/05/16/nonton-bokep-online-gratis-peramal-sakti/
https://peramalsakti.com/2017/05/21/nonton-bokep-online-gratis-asia-peramal-sakti/
https://peramalsakti.com/2017/05/23/prediksi-togel-hari-ini-peramal-sakti/
terima kasih suhu
Infonya bermanfaat sekali, terimakasih sudah sharing.
ReplyDeleteOh ya, sekedar informasi tambahan, bagi yang membutuhkan Sewa Misty Fan Tangerang untuk keperluan berbagai macam event seperti pesta ultah, pernikahan, pameran, dll. Bisa menghubungi kami Arthur Teknik.
Untuk baca artikel-artikel terbaru dari kami bisa cek di sini : http://blog.arthurteknik.com/