Halo halo halo, apa kabar, Blog? Apa kabar semuanya? Semoga harimu senantiasa menyenangkan!
Pada siang hari yang agak mendung ini saya kembali untuk menulis sesuatu yang agak lain dari blogposts saya sebelumnya. Kalau biasanya saya membuat ulasan seputar event, album, lagu, atau mungkin buku, kali ini saya mencoba jadi lebih cewek (hehe) dengan mengulas sebuah produk kecantikan.
Meskipun banyak orang, pepatah, atau mungkin akun medsos yang menasihati kita untuk tidak menilai orang dari penampilan fisiknya, tetap saja, don't judge a book by its cover itu bohong. Semua orang pasti melihat penampilan luar terlebih dahulu untuk kemudian mengenal lebih jauh kepribadian di dalamnya. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk mencoba membuat diri kita terlihat menarik. Entah itu dengan memilih baju yang kita kenakan, atau menggunakan make up pada beberapa kesempatan tertentu. Dengan penampilan yang oke, kita akan lebih percaya diri dalam menjalani kegiatan sehari-hari.
Berusaha menyelesaikan Tugas Akhir di semester 8 ini, saya mencari beberapa
referensi yang dapat dijadikan inspirasi maupun bahan rujukan, mulai dari artikel di
internet hingga beberapa buku berbentuk fisik. Tidak banyak buku yang
membahas musik Indonesia secara menyeluruh (entah saya belum menemukannya atau memang begitu adanya), beberapa yang sempat saya baca adalah 100Tahun Musik Indonesia karya Denny Sakrie dan Rock N Roll Industri Musik Indonesia tulisan Theodore K.S. Berbeda dengan dua buku tersebut yang ditulis oleh pemerhati musik asal Indonesia, buku yang akan saya coba ulas kali ini disusun oleh seorang antropolog asal Amerika, Jeremy Wallach.
Jika pada postingan sebelumnya saya sempat berterimakasih pada Twitter, kali ini saya ingin berterimakasih pada Youtube karena rekomendasinya membawa saya pada sebuah band yang ternyata saya sangat suka. Lagi-lagi saya bingung, ke mana saja saya selama ini, kenapa bisa-bisanya belum mendengarkan lagu dari duo yang satu ini di mana pun? Beruntung akhir-akhir ini saya memiliki cukup banyak waktu luang untuk melakukan peselancaran menyeluruh terhadap apa yang saya temukan di internet. (Halah hahaha)
The Dø (dibaca do, seperti dalam nada, bukan du seperti kata do dalam bahasa Inggris) adalah duo asal Prancis-Finlandia yang bertemu pada tahun 2005 dalam sebuah proyek penggarapan soundtrack film. Sudah merilis tiga album, sepertinya saya tidak akan banyak membahas musik yang mereka bawakan karena selain belum terlalu memahami musik secara teori, ada hal menarik lain yang saya perhatikan dari Dan Levy & Olivia Merihalti ini.
Iya saya tau, ini bukan hari Rabu. Tapi gimana dong saya lagi pengen nulis. Terus udah terlanjur bikin segmen Rekomendasi Rabu, kalau judulnya diganti jadi Rekomendasi Jumat, rasanya kurang pas. Jadi gakpapa ya, biarkan saya curang sedikit hari ini.
Rasa suka, sungguh subjektif dan tidak bisa diterka. Ada yang bisa langsung suka saat pertamakali jumpa, ada juga yang harus mengenal lebih jauh dan banyak bertatap muka. Sama halnya ketika mendengarkan musik. Ada lagu-lagu yang secara instan saya suka pada pendengaran pertama, ada juga yang perlu saya dengar beberapa kali, bahkan harus saya lihat dulu penampilan langsungnya. Morfem ini adalah kasus yang ketiga.
Halo semuanya! Wah tumben sekali ya saya kembali lagi
secepat ini. Mumpung masih liburan dan ada keinginan untuk menulis sesuatu nih
hehe. Oiya sepertinya mulai sekarang saya akan mengganti kata ganti pertama
yang biasanya saya pakai di sini dari ‘gue’ menjadi ‘saya’ soalnya kalau pake
‘gue’ kayanya Jakarta banget geto loh padahal da aku mah apa cuma anak
pinggiran tepatnya Depok, kutilnya Jakarta. ‘Saya’ juga terdengar lebih umum
meskipun agak formal dan baku. Tapi daripada pake ‘aku’… Yah, kalau secara
struktur kalimat dan penggunaan bahasa agaknya saya tidak akan menulis dengan
bahasa Indonesia yang baik dan benar soalnya nanti jadi terlalu kaku heuheu.
Blog ini kan isinya cerita-cerita kurang penting aja ya.
Happy Sunday morning people! Another Sunday, another weekend. Got no schedule? Got no money in your pocket? You want to watch that latest Iron Man movie so bad but you've got no one to watch with? Okay let's just spend the day watching the clouds from your bedroom's window. Or maybe read some books and Sunday's newspaper. Or...let's watch some entertaining short films!
Head Over Heels (2012) Directed by Timothy Reckart, this film was nominated for Best Animated Short Film for the 85th Academy Awards. It's a great film with a great story, indeed.
Paperman (2012) Disney's short movie! Well we all love Disney don't we? This black and white animation was directed by John Kahrs and won Best Animated Short Film at the 85th Academy Awards andAnnie Award for Best Animated Short Subject at the 40th Annie Awards.
Signs (2008) Office romance story never gets old. I watched this first before I watched Disney's Paperman and the plot is kind of similar but they tasted different. Directed by Patrick Hughes, this Australian short movie will....will make your heart smiles. And there are lots of short films you can watch on Vimeo or Youtube! Hahaha sorry I only post these three short films, actually there's one film I've watched and want to post it here but I couldn't find the link.. It's a Japanese short animation, I watched it on Vimeo.. But I forgot the title so.. Maybe if you find it you might want to tell me? And also, if you find another great short films just share it with me awkay? Have a blessful Sunday! :-D
When you hear the word 'Korean Music', the first thing that will pop in your mind might be boybands and girlbands and all those dancing thingies. I initially thought the same way but you know what, there came a day when I found out about their K-indie bands and I was like "Finally!".
I'm not saying the boybands and girlbands are not good, they-well most of them- are marvelous. It's just that sometimes I get tired of seeing the dancing boys teehee (No offense to the k-pop lovers so don't feel offended awkay?). So I was really curious about Korean's independent musics. Well here are some of them if you're now getting as curious as I were before. Happy reading and listening (and watching a youtube video that I added along with the description of each band)! :-)
Captained by Cha Hyosun, Trampauline is a synth-pop unit from Seoul. Since the 2nd album there had been a guitarist, Naeun, but this year she left the band so Hyosun is now the only member. Check out this video of Trampauline when Naeun was still on the band.
Trampauline has been electronically stealing my heart. Why? The simple beats and the abundance of synth successfully fill the joy in me. From what I read on last.fm, Cha Hyosun have had several goals while working on her songs like;
+Bring the sounds of everyday life surroundings into music.
+Let songs tell stories that are vivid enough to steal people's hearts.
+Wear them an outfit of electronic music, but with an acoustic spirit at the core.
I think she nailed it, she kicked the ball and made the goal.
When you search Linus' Blanket on google the result may gives you some images of Linus and his blanket, yes, that famous American character from Peanuts comic. No google isn't wrong because the band name was taken from that comic indeed.
Linus' Blanket has released some EP's that were released under BeatBall Music Record--the same label that released Mocca's album in Korea! Speaking of which, when I first heard Linus' Blanket's song I thought "whoa this is like a Korean Mocca" beacuse the jazzy, swinging and soft singing from Linus'Blanket lead vocal, Yeaon Gene kinda reminds me of Mocca's vocalist, Arina. But there are some differences and they have their own uniqueness, of course.
Here's a music video of Linus' Blanket's Show Me Love, a song from their first full album Show Me Love that was released 2011 under Sony Music.
Pretty amusing, don't you think?
Perky and whimsical. When a song sounds like those two, I just can't stand not to listen to it and feel amused. Well Lucite Tokki has it all.
The current members of the band are Cho Ye-jin, who sings and plays keyboard, and Kim Sun-young, a gifted guitar player. They're kinda famous in Korea I think, because some of their songs are used for drama and TV show soundtrack.
Lucite Tokki was initially named Tokki because one of them loves rabbit and the other one looks like rabbit. But a friend told them the name 'Tokki' is too kitschy so when Ye-jin discovered a necklace made of Lucite, they eventually changed the name into Lucite Tokki.With a base of pop, Lucite Tokki creates honest music expressing their thoughts and feelings about their daily life.
They released three albums in total and also some singles. Their first album, Twinkle Twinkle was released on December 2007 and has grown a lot of fans ever since. Intrigued to listen to their songs? Take a peek at their project called Lucite Tokki's Suitcase Theater, where they acoustically play some of their songs. Be prepared to be surprised!
Dee (nama pena dari Dewi Lestari) adalah seorang penulis dan
juga penyanyi yang lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Karya Dee yang pertama kali
saya baca adalah novelnya yang saat ini telah diangkat ke layar lebar yaitu Perahu
Kertas. Novel tersebut saya baca ketika duduk di bangku SMP berdasarkan rekomendasi
dari seorang teman. Ketika itu saya belum pernah membaca satu pun hasil karya
Dee. Padahal, buku pertama Dee, Supernova, telah terbit sejak tahun 2001.
Walaupun begitu, Dee tetap berhasil membuat saya terpana
akan kelihaiannya dalam menyusun kata dan melukiskan sebuah cerita dengan
begitu ajaibnya. Perahu Kertas sukses membuat saya membacanya nyaris tanpa jeda
hingga sampai di akhir cerita. Begitu pula dengan karya Dee setelahnya, sebuah
kumpulan prosa yang berjudul Madre.
Ibarat sebuah medan magnet, Dee berhasil menarik saya untuk
membaca lebih banyak hasil karyanya. Saya memutuskan untuk memulai dengan
kumpulan cerita dan prosa yang telah diterbitkan sebelum Madre.
Filosofi Kopi.
Mendengar judulnya saya menduga bahwa tulisan Dee yang satu
ini jika dirasakan dengan lidah pastilah akan terasa nikmat, sama halnya dengan
secangkir kopi. Kebetulan, Filosofi Kopi sedang dicetak ulang sehingga untuk
menemukan buku ini tidaklah sulit.
Cerita pertama, yang berjudul sama dengan judul bukunya,
menceritakan tentang perjalanan seorang pecinta dan peracik kopi menemukan kopi
dengan rasa yang paling sempurna. Untuk para pembenci kopi sekalipun, cerita
ini akan tetap membuat mereka menyukainya karena Dee menggambarkan cerita ini
dengan kata-kata yang tidak rumit. Alurnya pun mudah dimengerti. Di ujung
cerita, Dee membuat saya menyadari bahwa kesempuraan itu sesungguhnya dapat
ditemukan dibalik sebuah kesederhanaan.
Kata demi kata, halaman demi halaman saya baca dengan
keterpanaan yang masih sama besarnya seperti dulu saya membaca karya Dee untuk
pertama kalinya.
Tengoklah ‘Spasi’ yang terdapat di dalam buku ini. Indah,
sederhana, dan mengena. Itulah yang saya rasakan ketika pertamakali membacanya.
Hal kecil seperti ‘Spasi’ tidak luput dari gagasan yang ada di dalam kepala Dee.
Diinterpretasikan olehnya, dan disuguhkan dengan susunan kata yang luar biasa
indah.
Dalam kumpulan cerita dan prosa ini, dapat kita lihat bahwa
Dee adalah orang yang sangat peka dengan hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Kemampuannya
berpikir secara filosofis tidak dapat diragukan lagi. Mulai dari kopi yang
sebagian dari kita minum setiap hari, hingga kecoak yang menjijikan untuk
sebagian besar manusia, semuanya diramu dengan sangat cerdas dan dituturkan
dengan bahasa yang tidak rumit. Makna dari sesuatu yang terlihat biasa, dibuat
mendalam oleh seorang Dee.
Kepekaan sosial, keingin tahuan, kecerdasan, pemahaman,
kreatifitas yang luar biasa, semua itu seperti biji-biji kopi yang dihasilkan
oleh Pohon Dee. Kemudian digiling, diseduh dan akhirnya dapat dinikmati oleh
para pembaca.
Menyeruput (atau dalam konteks ini mungkin membaca)
secangkir ‘Filosofi Kopi’ racikan Dee membuat saya berpikir, seberapa jauh saya
telah memaknai hal-hal yang terjadi di dalam hidup ini?