Meski sempat mendengar namanya beberapa kali dan melihat
album fisiknya di salah satu toko musik, baru sekarang saya memberikan
perhatian lebih terhadap musisi asal Swedia yang baru saja menelurkan album ‘Life
Will See You Now’ ini.
Sebelum mencoba membuat ulasannya, saya ingin berterimakasih
kepada Twitter karena membuat saya semakin (merasa) update dengan berita-berita dan artikel terkini yang berseliweran
di lini masanya. Jika saya tidak membuka Twitter dan melihat artikel yang dicuit
oleh akun Flavorwire hari itu, mungkin saya belum akan mulai mendengarkan Jens
Lekman dan melewatkannya begitu saja, seperti saya melewatkan banyak hal-hal
menarik dalam hidup ini. (Masukkan emoji sedih di sini)
Empat setengah tahun setelah album penuh terakhirnya, 'I Know What Love Isn't', yang tidak mendapatkan
respon sebaik album sebelumnya (bahkan sisa album yang ia dapat dari toko sempat ia buang ke tempat pembuangan akhir), Jens kembali dengan sebuah album manis penuh cerita.
'Life Will See You Now' dibuka dengan suara Jens dan permainan piano yang mempertanyakan tujuan hidup kita lewat 'To Know Your Mission'. Bagian favorit saya ada di menit ke 3:09 yang menurut hemat saya, setelah membaca wawancara Jens dengan Huck Magazine, merupakan salah satu kisah hidupnya ketika ia mulai meragukan kemampuannya sebagai seorang penulis lagu. Untuk mengatasi hal tersebut, Jens membuat sebuah proyek bertajuk Postcard Project di mana ia menuangkan 52 cerita yang ia dengar dari orang lain dalam bentuk lagu. But in a world of mouths/ I want to be an ear/ Misi hidup yang sungguh mulia.
'Evening Prayer' menjadi lagu kedua yang tidak kalah menarik dengan lirik yang agak absurd (siapa sih yang bakal mencetak model tumor kalau punya mesin pencetak 3Dimensi?) diiringi musik bertempo ceria. Mendengarkan nomor selanjutnya, 'Hotwire the Ferris Wheel' saya seperti sedang diajak ngobrol bersama Jens dan kawannya, Tracey Thorn.
Ketika bau parfum bisa berubah jadi mesin waktu, Jens menceritakannya lewat 'What's That Perfume That You Wear?' yang sudah dirilis sebagai single pertama dari album ini. Masih dipenuhi dengan nada-nada ceria seperti tiga lagu sebelumnya, lirik dalam lagu ini sesungguhnya menceritakan kisah sedih tentang seseorang yang sudah pergi untuk selamanya. Petikan gitar dan sedikit tabuhan gendang mengawali lagu selanjutnya, 'Our First Fight'. Saya kira lagu ini akan berisi cerita sedih seperti lagu sebelumnya, namun ternyata tidak, woo hoo (mencoba menyanyikan bagian akhir dari lagu ini)!
Selama menjalani karirnya sebagai seorang penyanyi dan penulis lagu, ternyata Jens juga berprofesi sebagai seorang wedding-singer pada kesempatan tertentu. Diambil dari beberapa kisah nyata yang ia alami di pesta pernikahan, 'Wedding in Finistère' mengisahkan kecemasan yang dirasakan oleh seorang pasangan sebelum ia menikah, kecemasan akan hal-hal yang belum diketahui oleh manusia seperti yang digambarkan Jens pada bagian bridge; Oh, please, distract me/ From every life unlived/ Every path I haven't taken/ The heart's still a little kid/
'How We Met, The Long Version', secara harfiah menceritakan bagaimana dua orang bertemu, the long version. Mulai dari partikel subatomik yang berubah menjadi atom, oksigen yang menggantikan metana, hingga akhirnya dua orang dalam kisah ini bertemu. Sebuah lagu gombal yang dipenuhi fakta-fakta ilmiah. Kalau kecengan kamu menyukai sains, mungkin lagu ini bisa kamu jadikan umpan.
Saya tidak tahu apakah Jens adalah seorang gay atau bukan, tapi 'How Can I Tell Him' jelas menceritakan perasaan terpendam seorang lelaki yang menyukai his dude, bingung untuk mengutarakan apa yang ia rasakan. Beralih ke lagu selanjutnya, track ke-sembilan dalam album ini berjudul 'Postcard #17'. Sebuah lagu yang sangat relatable, mengisahkan kegelisahan dan kecemasan yang sebenarnya hanya ada dalam kepala kita.
'Dandelion Seed' menjadi lagu penutup yang sejuk, dengan Lisa sebagai tokoh tambahan, diceritakan oleh Jens lewat suaranya yang lembut. The wind is like a string section/ Begitu katanya, membuat saya membayangkan benih dandelion yang tertiup angin.
Mendengarkan 'Life Will See You Now' rasanya seperti menonton sebuah omnibus yang dipenuhi cerita-cerita mengesankan. Saya seolah diajak berjalan-jalan mengunjungi beragam sudut pandang, dengan Jens sebagai naratornya. Hal menarik lainnya adalah bagaimana Jens dapat memadukan lirik-lirik 'gelap' dengan nada-nada yang 'terang', membuat saya berpikir dua kali, mempertanyakan perasaan apa yang seharusnya saya rasakan ketika mendengar album ini.
'Life Will See You Now' dibuka dengan suara Jens dan permainan piano yang mempertanyakan tujuan hidup kita lewat 'To Know Your Mission'. Bagian favorit saya ada di menit ke 3:09 yang menurut hemat saya, setelah membaca wawancara Jens dengan Huck Magazine, merupakan salah satu kisah hidupnya ketika ia mulai meragukan kemampuannya sebagai seorang penulis lagu. Untuk mengatasi hal tersebut, Jens membuat sebuah proyek bertajuk Postcard Project di mana ia menuangkan 52 cerita yang ia dengar dari orang lain dalam bentuk lagu. But in a world of mouths/ I want to be an ear/ Misi hidup yang sungguh mulia.
'Evening Prayer' menjadi lagu kedua yang tidak kalah menarik dengan lirik yang agak absurd (siapa sih yang bakal mencetak model tumor kalau punya mesin pencetak 3Dimensi?) diiringi musik bertempo ceria. Mendengarkan nomor selanjutnya, 'Hotwire the Ferris Wheel' saya seperti sedang diajak ngobrol bersama Jens dan kawannya, Tracey Thorn.
Ketika bau parfum bisa berubah jadi mesin waktu, Jens menceritakannya lewat 'What's That Perfume That You Wear?' yang sudah dirilis sebagai single pertama dari album ini. Masih dipenuhi dengan nada-nada ceria seperti tiga lagu sebelumnya, lirik dalam lagu ini sesungguhnya menceritakan kisah sedih tentang seseorang yang sudah pergi untuk selamanya. Petikan gitar dan sedikit tabuhan gendang mengawali lagu selanjutnya, 'Our First Fight'. Saya kira lagu ini akan berisi cerita sedih seperti lagu sebelumnya, namun ternyata tidak, woo hoo (mencoba menyanyikan bagian akhir dari lagu ini)!
Selama menjalani karirnya sebagai seorang penyanyi dan penulis lagu, ternyata Jens juga berprofesi sebagai seorang wedding-singer pada kesempatan tertentu. Diambil dari beberapa kisah nyata yang ia alami di pesta pernikahan, 'Wedding in Finistère' mengisahkan kecemasan yang dirasakan oleh seorang pasangan sebelum ia menikah, kecemasan akan hal-hal yang belum diketahui oleh manusia seperti yang digambarkan Jens pada bagian bridge; Oh, please, distract me/ From every life unlived/ Every path I haven't taken/ The heart's still a little kid/
'How We Met, The Long Version', secara harfiah menceritakan bagaimana dua orang bertemu, the long version. Mulai dari partikel subatomik yang berubah menjadi atom, oksigen yang menggantikan metana, hingga akhirnya dua orang dalam kisah ini bertemu. Sebuah lagu gombal yang dipenuhi fakta-fakta ilmiah. Kalau kecengan kamu menyukai sains, mungkin lagu ini bisa kamu jadikan umpan.
Saya tidak tahu apakah Jens adalah seorang gay atau bukan, tapi 'How Can I Tell Him' jelas menceritakan perasaan terpendam seorang lelaki yang menyukai his dude, bingung untuk mengutarakan apa yang ia rasakan. Beralih ke lagu selanjutnya, track ke-sembilan dalam album ini berjudul 'Postcard #17'. Sebuah lagu yang sangat relatable, mengisahkan kegelisahan dan kecemasan yang sebenarnya hanya ada dalam kepala kita.
'Dandelion Seed' menjadi lagu penutup yang sejuk, dengan Lisa sebagai tokoh tambahan, diceritakan oleh Jens lewat suaranya yang lembut. The wind is like a string section/ Begitu katanya, membuat saya membayangkan benih dandelion yang tertiup angin.
Mendengarkan 'Life Will See You Now' rasanya seperti menonton sebuah omnibus yang dipenuhi cerita-cerita mengesankan. Saya seolah diajak berjalan-jalan mengunjungi beragam sudut pandang, dengan Jens sebagai naratornya. Hal menarik lainnya adalah bagaimana Jens dapat memadukan lirik-lirik 'gelap' dengan nada-nada yang 'terang', membuat saya berpikir dua kali, mempertanyakan perasaan apa yang seharusnya saya rasakan ketika mendengar album ini.
No comments
Post a Comment